15 August 2008

Keran Air Yang Mati

Aku punya hobi mengamati keadaan sekeliling saat berada di suatu tempat, terlebih tempat yang belum biasa kukunjungi. Kamis kemarin, aku mengirim kit sains ke sebuah sekolah di wilayah Bogor (he he setua ini aku masih jadi karyawan ekspedisi, sopir dan merangkap porter). Proses administrasi berlangsung beberapa waktu, dan aku punya kesempatan cukup untuk melakukan pengamatan.

Di sekolah itu ada banyak tanaman dalam pot, dan perkiraanku itu adalah milik para siswa dan merupakan bagian dari tugas sekolah. Benar, tak berapa lama seorang anak menghampiri salah satu pot dan membawanya ke dekat wastafel outdoor untuk disirami (atau mungkin lebih tepatnya dikucuri air). Rupanya, keran tidak mengucur. Sambil menggerutu kecil (kok kerannya mati sih), si anak mengembalikan pot ke tempat semula dan berlalu. Sang tanaman batal mendapatkan air pagi itu.

Beberapa menit kemudian, seorang anak lain dengan tangan berlepotan menghampiri wastafel yang sama dan menjumpai kenyataan yang sama : keran tidak mengucurkan air. Juga sambil menggerutu kecil, si anak segera berjalan menuju sumber air lain yang jaraknya tak sampai 10 meter dari wastafel : sebuah kamar kecil. Ia mencuci tangannya di sana.

Mengapa anak pertama tak berusaha membawa potnya ke kamar kecil itu, sementara anak kedua dengan cepat membersihkan tangannya yang kotor di sana?

17 December 2007

Daun Berwarna Hijau, Sayang!

Pernah tidak Anda menyaksikan acara lomba mewarnai gambar tingkat anak-anak usia tk? Biasanya jumlah peserta banyak, dan biasanya mereka duduk di lantai. Kadang beralas karpet, kadang tidak. Oleh panitia arena lomba dibatasi dengan tali atau pembatas lainnya. Panitia sudah mengingatkan agar para orang tua membiarkan anak-anak bekerja sendiri. Akan tetapi seringkali terjadi para ayah dan ibu berdempet-dempet di pembatas sambil terus memperhatikan hasil kerja putera-puteri tersayang. Sesekali terdengar komentar

“Mewarnainya yang penuh...!”

“Itu matahari. kasih warna oren (maksudnya jingga) “

“Jangan salah. Langit warnanya biru”

ada lagi seorang anak yang “terlanjur” memberi warna merah pada daun. Si orang tua setengah berteriak, “Ya ampun. Daun berwarna hijau dong. kamu gimana sih?”

Betul-betul saya tidak paham apa yang berseliweran di pikiran para orang tua itu. Apa mereka berharap anak mereka menghasilkan yang terbaik sesuai versi mereka, sehingga karenanya berpeluang dapat juara? Atau para orang tua itu “sekedar” ingin agar putera-puteri mereka berlaku normal, senormal menghijaukan daun? Tidakkah mereka menyadari bahwa ada daun yang berwarna merah? Bahkan jikalau tak satupun daun di muka bumi ini yang berwarna merah, maka memerahkan daun di dunia imajinasi adalah sah!


Tanyakanlah kepada orang tua, “apakah Bapak atau Ibu menginginkan putera-puteri yang kreatif?” Maka biasanya jawaban yang muncul adalah “Ya, tentu saja”. Sayangnya yang seringkali ada ialah para orang tua – saya yakin dengan tanpa sengaja – memasang banyak perangkap untuk memenjarakan kreativitas anak-anak.

09 December 2007

Duh, Malaysia

Sampai usia 15, aku tinggal di Bintan, di daerah pertambangan yang panas di Indonesia sebelah tepi. Karena lebih dekat ke Singapura dan Malaysia daripada Jakarta, kami dibesarkan oleh tayangan-tayangan chanel 5 Singapura dan RTM malaysia. Itupun sesudah memasang antene menjulang belasan meter. Kadang-kadang tertangkap siaran TVRI stasiun Palembang, dan bagi kami itu sebuah selingan yang ajaib.
Boleh jadi karena itu, aku merasa karib dengan singapura dan malaysia. Ditambah lagi kepada kami sering dikisahkan tentang pahlawan yang sama : Hang Tuah, Hang Kesturi, Hang Jebat, Hang Lekir, Hang Lekiu. Juga tentang kontroversi kisah mereka.
Sejak SMP, kalau tak salah ingat, aku mulai mendengar cerita tentang anak-anak sebaya dan yang lebih tua berangkat ke malaysia melalui jalur tidak sah. Beberapa tertangkap dan dipulangkan. Sebagian besar tak tahu rimbanya. Beberapa ada yang pulang beberapa waktu kemudian, membawa ringgit. Beberapa sepupuku juga mengadu nasib di sana. Malaysia, memberi warna pada lanskap masa kecilku.

Tapi klaim yang mereka lakukan akhir-akhir ini, meski dibantah keras oleh Dubes mereka untuk Indonesia, membuatku gundah, sekaligus terbakar. Lanskapku sudah tergaruk-garuk di sana sini.

Kupikir, aku tak akan turun ke jalan untuk mendemo mereka, menggedor-gedor pagar dan gerbang kedutaan, atau (mungkin) membakar bendera mereka, atau membuat blog yang mencaci maki mereka. Aku akan tetap di ruang kerjaku (yang sebetulnya bukan ruangan khusus), terus mencoba menghasilkan karya-karya terbaikku. Aku akan tetap mengunjungi kelas-kelas sainsku, berbagi semangat dan inspirasi dengan anak-anak untuk menjadi Indonesia yang lebih kuat, bermartabat, kreatif, mulia tanpa perlu merendahkan siapapun. Aku akan terus bertemu dengan anak-anak muda, berbagi semangat yang sama.

Kreativitas tak bisa dicuri. Ketika ia dicuri atau disontek habis, ia berpindah ke aras yang lebih tinggi.

06 December 2007

Menghidupi Hari

Pekerjaanku lebih dari 4 tahun terakhir ini membuatku punya kesempatan emas berhubungan dengan penjual barang-barang bekas atau barang-barang tak umum. Seorang penjual yang kujumpai siang tadi adalah pak tua berusia 71 tahun. Beliau menjual bermacam botol kaca, di pinggir sebuah perempatan yang sibuk dan agak kumuh di Jakarta.
Sambil menyiapkan botol kaca yang kupesan, kami ngobrol macam-macam. Tepatnya beliau bercerita, dan aku lebih banyak mendengarkan. Beliau bicara tentang getirnya hidup, tentang sempitnya ruang usaha bagi orang semacam dia di masa sekarang ini. Tapi sungguh, nada berceritanya lilo, jauh dari keluh kesah. Mendadak sebentuk kehangatan yang nyaman memenuhi semua ruang dadaku. Ia bilang begini, dapat rejeki yang cukup untuk makan hari ini sudah bagus. Kita mesti bersyukur kepada Tuhan. Bagi saya dagang seperti ini adalah untuk menghidupi hari.

08 November 2007

Percakapan soal matematika, pada suatu siang

Siang 7 November 2007, dalam perjalanan pulang dari sekolah, percakapanku dengan Nisrina anak perempuanku sampai ke soal matematika. Aku bertanya, apa sebab nilai matematikanya tak secemerlang ketika SD dulu. Gurunya nggak asik, katanya. Ayah kan tahu nilai adek pasti jelek kalau gurunya nggak oke. Adek jadi nggak suka sama pelajarannya.

Ya, ya. Si bungsuku ini memang begitu...
Apa akal? Nisrinaku punya kepribadian yang unik (bukankah semua anak begitu?). Aku perlu memberikan respon yang pas dengan keunikannya itu.
Di jeda waktu yang sangat singkat, kukatakan begini. Tapi matematika kan nggak salah, dek. Matematika jadi sedih lho kalau adek nggak suka lagi sama dia.
Dia tertawa dan bilang, iya ya.

Nisrina, gadis kecilku yang mulai remaja, sangatlah imajinatif. Aku tidak tahu, adakah ucapanku tadi berhasil lolos masuk ke imajinasinya, menjadi motivasi baru baginya untuk urusan matematika. Hanya waktu yang kelak membuktikan.

Sungguh, aku merasa terus berada pada tahapan yang tergagap-gagap dalam soal mendidik anak.

05 September 2007

Anak Kecil Itu Bernama Jiwo

Pada sebuah Selasa sore di bulan Februari 2007 saya sedang ngobrol dengan istri. Lesehan di lantai 1 ruko kecil tempat kami menjalankan bisnis kecil kami. Seorang anak usia kelas 3 SD turun dari lantai 2, hendak pulang. Sudah selesai kegiatan klub rupanya dia.
Entah kapan "budaya" itu dimulai, anak-anak selalu cium tangan kami kalau mau pulang. Begitulah, anak itu mencium tangan saya. Tapi perhatian saya mendadak beralih ke tangan kirinya yang sedang memegang sesuatu yang menarik.
"apa itu?" tanya saya
"ini aku buat di atas tadi" jawabnya sambil memeragakan cara memainkan benda yang menarik itu...

Mainan itu terdiri dari 2 balon, yang satu ditiup dan satunya lagi tidak. Keduanya dihubungkan dengan sedotan plastik. Balon yang tidak ditiup berada di bawah dan diisi air. Jika balon ini ditekan, maka air mengucur ke atas. Seperti air mancur.

Mungkin benda seperti ini sudah ada di suatu tempat di muka Bumi ini. Tapi saya baru melihatnya untuk pertama kali.

Saya terpesona. saya lalu bertanya. meminta ijin tepatnya,
"boleh om pakai hasil percobaanmu ini?"
Ia mengangguk. Tak lama iapun pulang

Segera saya minta tolong fasilitator yang mendampingi anak tadi untuk membuat mainan seperti itu. Sepanjang sore saya memainkannya. Bergantian dengan istri saya, yang juga terpesona.

Mainan itu kami namakan air mancur dalam balon. Kami pakai untuk kegiatan sains di sekolah-sekolah. Kami dapat uang dari situ. Anak kecil itu, Jiwo namanya, dapat royalty dari temuan spektakulernya itu. Tidak besar, karena bisnis kami memang belumlah besar. Tapi Insya Allah, Jiwo akan terus terima royalty sepanjang kami menggunakan temuannya itu.

Jiwo adalah pemenang pertama Lomba Percobaan IPA tahun 2006 yang diselenggarakan oleh sebuah majalah iptek anak. Seorang anak yang menurut ukuran nilai rapor adalah biasa-biasa saja. Akan tetapi bagi kami Jiwo selalu luar biasa. Semoga ia tumbuh menjadi manusia hebat yang memberikan manfaat luas bagi semesta.

04 May 2007

Apa Sekolah Sudah Menjadi Tempat Yang Mengerikan?

Malam ini kami mempercakapkan nasib mengenaskan yang menimpa seorang anak lelaki kecil kelas 2 SD. Ia meninggal dunia lantaran dianiaya kawan sebayanya, 3 anak perempuan dan 1 anak lelaki di sekolah. Ini menambah daftar kekerasan yang dialami dan juga dilakukan oleh anak usia SD.
Kita mau bilang apa sekarang? Baik korban maupun pelaku sama-sama menderita, walau dengan lanskap yang berbeda. Derita juga dirasakan oleh keluarga mereka. Derita juga akan menghampiri anak-anak lain teman mereka. Ada trauma yang bersemayam, mungkin dalam jangka waktu panjang. Teramat panjang.
Kita mau bilang apa sekarang? Bahwa ini adalah sebuah kenyataan hidup yang pahit, yang harus dengan mata dan hati perih kita hadapi? Bahwa ini adalah semata-mata kasus persentase kecil yang tak menggambarkan dunia sekolah dan pendidikan secara keseluruhan? Saya berharap tak ada pejabat yang bicara seperti ini.
Kita mau bilang apa sekarang? Bagi saya sudah tampak jelas gambarnya: kita menghadapi soal budi pekerti, soal perasaan welas asih yang berstadium tinggi. Dan saya bisa bilang dengan lantang bahwa penjahat besar dari persoalan ini adalah : orang dewasa! Orang dewasa yang tetap tak ambil pusing soal tayangan-tayangan kekerasan di layar kaca. Orang dewasa yang tetap mempertontonkan adegan kekerasan di kehidupan sehari-hari. Suami yang mukul istri lantaran pusing akibat hidup yang menghimpit. Orang dewasa yang ramai-ramai menggebuk maling ayam sampai meninggal dunia.
Duh, orang dewasa. Dunia macam apa yang hendak kita wariskan kepada anak-anak kita?