Siang 7 November 2007, dalam perjalanan pulang dari sekolah, percakapanku dengan Nisrina anak perempuanku sampai ke soal matematika. Aku bertanya, apa sebab nilai matematikanya tak secemerlang ketika SD dulu. Gurunya nggak asik, katanya. Ayah kan tahu nilai adek pasti jelek kalau gurunya nggak oke. Adek jadi nggak suka sama pelajarannya.
Ya, ya. Si bungsuku ini memang begitu...Apa akal? Nisrinaku punya kepribadian yang unik (bukankah semua anak begitu?). Aku perlu memberikan respon yang pas dengan keunikannya itu.
Di jeda waktu yang sangat singkat, kukatakan begini. Tapi matematika kan nggak salah, dek. Matematika jadi sedih lho kalau adek nggak suka lagi sama dia.
Dia tertawa dan bilang, iya ya.
Nisrina, gadis kecilku yang mulai remaja, sangatlah imajinatif. Aku tidak tahu, adakah ucapanku tadi berhasil lolos masuk ke imajinasinya, menjadi motivasi baru baginya untuk urusan matematika. Hanya waktu yang kelak membuktikan.
Sungguh, aku merasa terus berada pada tahapan yang tergagap-gagap dalam soal mendidik anak.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment