25 April 2007

Surat Ayah Untuk Puteranya Pada 2 Mei 2005

Anakku sayang. Barangkali sudah kaubaca juga berita hari ini, perihal 4 orang kakak SMA yang berhasil meraih medali emas pada Olimpiade Fisika Asia ke 6 di Pekanbaru. Kita nomor 2 nak, di bawah China dan mengungguli Taiwan serta Singapura. Tahun lalu para kakak SMPmu menjadi juara umum pada Olimpiade Sains Junior Internasional. Lalu ini, 2 orang kakak mahasiswamu berhasil memenangkan lomba computer programming yang diselenggarakan oleh Google (kau kenal dengan nama ini bukan?) di India maret lalu. Satu lagi, adik kecilmu berusia 7 tahun berhasil menjadi juara dunia catur termuda. Sungguh membanggakan, dan ayah tahu simpul-simpul syarafmu berpendaran, karena dalam dirimu juga bergejolak semangat untuk memberikan yang terbaik.

Bagi ayah, berita gembira itu membuat cahaya mentari 2 Mei ini menjadi lebih hangat. Ada optimisme yang menggeliat-geliat, bahwa bangsa ini sedang menapak cepat menuju kemuliaan. Sayang, di tengah hari sorot mentari berbalik terasa terik dan panas. Agak perih di kulit. Dari Yogya terdengar kabar sejumlah dosen dan mahasiswa UGM mendemo kenaikan gaji rektor nya yang mencapai 400 persen. Ah, tiba-tiba saja kita dihadapkan kembali kepada soal-soal yang sudah beberapa tahun ini merisaukan hati: Beaya pendidikan, mahalnya bukan kepalang.

Sisi melankolikku hendak berbagi cerita denganmu perihal UGM di masa hampir 20 tahun lalu. Sebuah kampus yang terbuka, yang memperbolehkan pedagang kaki lima berdagang di dalamnya. Sekarang ayah dengar gerbang menghadang di mana-mana. Konon dibangun dengan beaya yang tak kecil. Tentulah para petinggi kampus biru itu punya banyak pertimbangan. Kita berbaik sangka saja.

Dulu, di halaman parkir mudah sekali dijumpai berjejer sepeda. Ayah masih ingat seorang mahasiswa yang sehabis wisuda mengayuh sepedanya, pulang ke arah selatan Yogya. Sekarang, adakah kaum bersepeda masih punya cukup tempat di UGM? Entahlah. Semoga iya. Tetapi yang terdengar memekakkan udara adalah : ongkos ke perguruan tinggi naik gila-gilaan. Boleh jadi ada sebuah daftar panjang yang menjadi alasan di balik meroketnya beaya itu. Cuma bagi kelompok masyarakat seperti kita, perguruan tinggi adalah sekeping harapan yang terus menjauh.

Walau kita sudah bersepakat untuk hanya merawat dan membesarkan pikiran-pikiran positif, kita toh tetap harus menyediakan diri kepada berbagai kemungkinan. Yang ayah maksud, mungkin saja kami tak punya cukup uang untuk mengantarkanmu ke gerbang perguruan tinggi, termasuk ke perguruan tinggi negeri yang dulunya dikenal “merakyat”.

Jadi ayah hendak mengajakmu mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan yang tersedia bagi kita. Misalkan ketiadaan dana itu yang nantinya terjadi, lalu apa pilihan kita? Beasiswa. Itu artinya kami mendorongmu berjuang di depan. Sebuah pilihan yang ironis, bukan? Kami lalu memimpikanmu seperti kakak-kakak yang jago fisika itu. Bagi mereka beasiswa adalah kenyataan yang mudah, bahkan beasiswa untuk perguruan tinggi luar negeri. Walau kami yakin kau punya semangat yang luar biasa untuk menggapai hal demikian, tetap saja itu bertentangan dengan yang coba kita gapai selama ini : Berusaha menjadi diri sendiri. Maknanya, orang lain hanya boleh sampai pada batas inspirasi. Selebihnya, keunikan diri sendirilah yang harus kita temukan. Kalau kau memang ingin menjadi jagoan apa saja dan karenanya diganjar beasiswa, baguslah. Kalaupun tidak, sepanjang kau terus tumbuh menjadi dirimu yang lebih baik, itu lebih bagus.

Kalau tidak beasiswa, apa lagi pilihan kita? Lupakan perguruan tinggi. Perguruan tinggi boleh jadi sebuah jalan yang baik untuk mengantarkanmu kepada peranmu di dalam kehidupan. Akan tetapi ayah rasa kaupun tahu, itu bukan satu-satunya jalan. Ada banyak kisah perihal mereka yang meraih sukses tanpa melewati perguruan tinggi. Ada banyak nama di banyak surat kabar dan buku yang bisa kaukenali sebagai ikon-ikon yang tidak dihasilkan oleh perguruan tinggi.

Pada usiamu yang baru lewat duabelas ini anakku, ayah percaya telah kaukenali bahwa persoalannya bukanlah pada kuliah atau tidak kuliah. Melainkan lebih kepada sikap diri dalam menghadapi kehidupan. Dapatkah kita menjadikan diri kita pembelajar sejati yang bersedia belajar dari apa saja, di mana saja dan pada waktu kapan saja? Dapatkah kita menghormati diri sendiri dengan tidak membiarkannya lemah oleh beragam pukulan, lunglai oleh beragam kenyataan pahit? Dapatkah kita secara “nasional” mendidik seluruh komponen dalam diri kita untuk hanya mengusahakan yang lebih baik dari hari ke hari, apapun pilihan profesi kita? Dapatkah kita menjadi penyapu jalan atau pejabat negara atau rektor perguruan tinggi yang sepenuhnya mendedikasikan pekerjaan bagi kemaslahatan masyarakat?

Beberapa jam lalu ayah sempatkan berlama-lama menatap wajah sederhana Ki Hadjar Dewantara. Kautahu warna yang mengabut di perasaanku? Abu-abu. Jika dihadapkan pada potret perjuangan Ki Hajar, berada di titik manakah dunia pendidikan kita sekarang? Ayah kuatir titik itu berada di luar pigura. Andaikan beliau masih hidup sekarang dan bercakap-cakap dengan pejabat perguruan tinggi, gerangan apakah yang hendak beliau sampaikan? Rasa bangga atau mualkah? Bagaimanakah perasaan beliau mendengar berita perihal beberapa anak yang memilih keputusan getir untuk bunuh diri lantaran tak sanggup mengongkosi tugas sekolah yang nilainya hanya ribuan? Sebuah nilai rupiah yang dengan amat mudah dibuang orang kota untuk parkir atau tip di jalanan setiap hari.

Boleh jadi ini bukan merupakan pengandaian yang relevan. Boleh jadi ini sekedar igauanku yang muncul lantaran diam-diam mulai cemas akan apa yang bakal terjadi kelak. Tapi baiklah kita sepakatkan saja untuk tegakkan kepala. Kalaulah perguruan tinggi nantinya berkata tidak kepadamu, bersama-sama akan kita buka pintu-pintu lain untuk membawamu kepada peran unikmu di muka bumi ini. Salam sayangku untukmu.

2 comments:

joecakep said...

'ketika pendidikan hanya menghasilkan air mata'dan ' sekolah itu candu' ........untuk alexandra yang datang menjelang millenium semoga kami memberimu generasi dunia yang lebih baik'

tulisan bapak bikin terharu. Saya baru saja dikarunia putri and pesimistis tentang masa depan pendidikan generasi penerus kita.

rzl

muzi said...

Selamat atas kehadiran sang puteri tercinta, sebuah amanah yang paling indah (sekaligus yang paling berat juga). Semoga sukses. Doa saya untuk Anda dan sekeluarga.